Selasa, 19 Maret 2013

Bogor dan Memori

Kalo ngomongin tentang memori jadi inget gerakan tangan ajaibnya Jung Woo untuk Su Yeon saat menghapus "bad memories"~~Swaaa..

Tapi seberapa kali pun ku tiru gerakan ajaib itu "bad memories"-nya belum juga hilang. Malah akhir-akhir ini semakin sering muncul dalam bentuk mimpi buruk. Tau gimana rasanya ketika kita bangun di pagi hari dan ngerasa sangat nggak enak karena diingatkan pada memori-memori buruk?

Rasanya cuma mau kembali ke masa itu. Ke tempat itu, tempat semua memori indah. Aku rindu saat-saat menjejakan langkah disana, menyusuri aspal panasnya dengan angkot, menghirup udara segarnya di pagi hari, membenamkan diri dalam tumpukan buku berdebu khas perpus. Bogor. Disana cuma ada tawa bersama mereka. Hanya ada kenangan-kenangan indah bersama sahabat. 

Sabtu, 12 Mei 2012

Bulan-Bintang



iamastar: Guess me, where am I now?

luna_nalu: Di Bandung lah, kosan..

iamastar: Salaaaah..

luna_nalu: Eh?

iamastar: Coba tebak..

picture accepted..

"....."

luna_nalu: Jepaangg??? Arrgggggggggth..

****

My Name is Luna, 24 years old. And..still single. Hanya officer biasa, tanpa prestasi luar biasa sepanjang 24 tahun itu. Walaupun orang-orang di kantor bilang tampang ku masih cocok untuk anak SMA, tetap saja  fakta dan realitanya angka itu sudah angka 2 dan 4. 24 years old, yeaah agak keselek nyebut angkanya. Di angka menakjubkan ini, teman seangkatan sudah sibuk ngurusin baby, ngajak babynya jalan-jalan, sibuk tesis, ngurusin bisnis ini-itu, bahkan sibuk ke luar negeri. Aku? Nothing special.

BUZZ

iamastar: Lun..Are U Okay? 

Pake ditanya pula, jelas I'm not okay. I'm shock tauu..Sahabat macam apa itu, kasih kabar setelah dengan suksesnya berada di negeri Sakura. Negeri impian yang masih setia tertera di dream book ku. Ku lirik lagi dream book merah jambu di samping laptop. Hhh, apa iya cuma akan jadi catatan mimpi? Bukan catatan sejarah di masa depan? Perlahan ku tarik napas, untuk mengembalikan segenap kesadaran.

luna_nalu: Jadi mau pamer? 

iamastar: weeh, sensi amat bu..hihi

iamastar: sorry, jangan marah atuuh..dadakan berangkatnya.. Ribet ngurus ini-itu.

luna_nalu: It's okay..no problem..You always be a Star.

iamastar: :D

iamastar: Lun..nama mu itu bagus ya.

Aduuh, pasti cuma mau menghibur di tengah keterpurukan ku nih.

iamastar: Luna = Moon = Bulan. Nama itu doa, berarti ortu mu mau kamu seperti Bulan.

Maksudnya?? Aku ini mengecewakan orang tua ku ya? Hhh..bikin makin sensi tingkat dewa aja nih anak.

luna_nalu: Tapi, Bintang itu tetap lebih hebat dari Bulan. Bintang itu bisa bersinar sendiri, nggak seperti Bulan, untuk bersinar aja butuh pantulan sinar dari Matahari.

iamastar: :D

luna_nalu: kenapa ya pake ada Bulan, kenapa Bulan itu nggak jadi Bintang aja? Emang Bulan nggak iri sama Bintang?

iamastar: kenapa Bulan harus ikut-ikutan jadi Bintang? :D

iamastar: Lun, inget ini nggak..

iamastar: Bintang-bintang bertaburan
                  Di angkasa, angkasa raya
                  Panduan mereka yang berkelana
                  Perjalanan oh rembulan
                  Merentasi cakerawala
                  Petunjuk perkiraan tahunan  

luna_nalu: inget..

Jelas aku ingat, itu kan sepenggal lirik lagu Bulan-Bintang nya Saujana. Nasyid favorit kami.

iamastar: Don't you know what I mean?

luna_nalu: Eh??

iamastar: :D

iamastar: Bulan dan Bintang itu punya tugas masing-masing. Kalo Bulan nggak ada, siapa yang jadi petunjuk tahun?

Iya sih, Bintang benar. Semua pasti punya tugas dan fungsi masing-masing. 

iamastar: Bintang dan Bulan itu sama-sama menakjubkan dengan tugasnya sendiri, Lun. :D

Ku tarik dream book merah jambu kesayangan ku. Okay, I'm still 24 years old. I'm still young. Masih banyak waktu untuk membuat dream book ini menjadi catatan sejarah ku di masa depan. Bintang benar. Mimpinya adalah tugasnya untuk dia wujudkan sebagai Bintang, dan mimpi ku adalah tugas ku untuk ku wujudkan sebagai Luna. Luna tetaplah Luna yang harus menjadi menakjubkan seperti Bintang dengan mimpi ku sendiri. 

luna_nalu: :D

luna_nalu: yang selalu pasti, seperti apa pun Bintang, Bintang selalu setia menemani Bulan di malam hari.

iamastar: Like me and you :D
Langit Indonesia malam ini cerah kok, nggak kalah sama langit Tokyo mu malam ini ;)

Kamis, 12 April 2012

Penutup Rindu di bulan Juni


Rinai hujan basahi aku
temani sepi yang mengendap
kala aku mengingatmu
dan semua saat manis itu

(hujan-utopia)

Sore ini angin bertiup agak lebih kencang. Berbisik pada dedaunan, menyambut rintik hujan yang perlahan turun. Meruapkan aroma tanah khas ke udara yang lembab. Kuhirup perlahan udara di sekitar. Aku suka bau hujan..

Tetes-tetes bening itu menutup bulan Juni dengan sempurna. Cantik terbias cahaya mentari senja yang mulai menghilang. Lalu bergantian berbias lampu-lampu jalan. Romantis. Kebiasaan ku menengadahkan tangan, menampung butiran bening dari langit itu. Rindu langit untuk bumi yang begitu lembut dan indah.

Sampai mana kah butir-butir bening ini mengalir? Andainya ada butir bening yang mengalir sampai pulau itu. Menyeberangi lautan luas dan sebagian daratan pulau itu, untuk menitipkan bagian rindu ini padanya, Atau butir bening ini menguap lagi, terbang bersama awan-awan putih sampai pulau itu. Dan sampaikan rindu ini dalam butiran bening yang juga ia tadahkan dengan tangannya seperti ku. 

Biru, rintik hujan sore ini menutup rindu ku di bulan Juni untuk mu. Baru tiga bulan, tapi tiap bulan yang harus aku lewati tanpa kamu jadi seperti prestasi yang luar biasa untuk ku disini. Dan aku memang harus luar biasa untuk mengendapkan rindu ini entah sampai berapa bulan lagi. 

Rabu, 11 April 2012

Kota itu, Kamu dan Mimpimu



Awan mendung masih menggelayut di langit, meski tetes hujan baru saja berhenti jatuh. Lesung pipi kecil itu masih terlihat jelas menghadapku. Ransel besar dipunggungnya sebentar lagi siap menjauh. 

Aku masih diam memandangnya. Ada bendungan kecil yang terpaksa harus ku buat sebelum benar-benar tumpah. Ah, hujan..Kenapa harus berhenti? Padahal ku harap hujan mampu menahannya sedikit lebih lama disini. 

Biru menundukkan tubuh tingginya hingga sejajar dengan ku. Mengusap kepala ku lembut. Dia masih saja memperlakukanku seperti anak kecil. 

“Jarak? Dimana pun kita berada, toh kita masih berpijak di bumi yang sama, dan menatap langit yang sama..” ucap Biru hati-hati, seolah tau apa yang ada dalam pikiran ku.

Aku menggeleng pelan, bukan karena tak mengerti dengan ucapannya. Hanya saja otak ku memberi perlawanan “Mungkinkah sama warna langit yang kita lihat di tempat berbeda?” 

Biru masih tersenyum menatapku. Kali ini aku hapal itu adalah senyum gemasnya melihat tingkah kekanakanku.

“Setelah ini, kamu buka lagi catatan mimpi mu..”

Kota itu, Kamu, dan mimpimu. Disini, aku dan mimpi ku. Tak pernah ada yang salah dengan mimpi-mimpi kita. Seperti Biru yang selalu mendukung mimpi-mimpi melangit ku di sini, harusnya aku pun begitu. Tapi kadang ku pikir, mengapa harus kota itu? Terpisah jarak ratusan kilometer dan lautan luas. Mengapa tak pilih kota ini? Padahal pasti masih banyak pintu mimpi yang bisa diketuk di kota ini. 

“Seperti aku yang kembali pada mimpi-mimpi ku di sana, kamu juga harus kembali pada mimpi mu. Mereka menunggu untuk kamu dekati lagi..”

Butiran bening itu tak lagi bisa terbendung. Bukan karena sedih, ini pembenaran dari semua kata-katanya. Jarak dan Waktu. Tak ada kuasa untuk kami mengatur semuanya. Kami hanya bidak catur kehidupan. Ada yang lebih berhak mengatur setiap langkah kami. 

Disodorkannya sebungkus kecil tissue pada ku, dan masih dengan senyum menatap ku. Ah, aku tau mata sipitnya mulai menangkap perubahan warna di wajahku. Bibirnya mulai menyunggingkan seulas senyum usil, “Udang rebus, hihi..” 

Plak!

“Aduuhh….”

Satu pukulan telak kuhadiahkan pada lengannya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk meledek ku dengan sebutan “Udang rebus” tiap kali ditangkapnya warna wajah ku yang memerah. Tapi setelah itu, aku tak pernah tahan untuk tidak tersenyum. 
 
Awan abu-abu mulai bergeser memberi ruang pada sang surya untuk menjalankan tugasnya. Sinar mentari jatuh berkilauan pada air yang menggenang di permukaan aspal, sisa-sisa hujan. Indah sekali. Seindah mimpi dan masa depan yang telah menunggu kami. Iya kan Biru?

Biru

Mendadak sunyi. Hanya alunan MLTR favorit Biru yang terdengar. Restoran ini cukup sepi, hanya beberapa pengunjung yang sibuk dengan makanannya di meja masing-masing. Ada rasa yang mendadak meluncur jatuh ke dasar perutku. Memenuhi rongganya hingga rasa lapar mendadak hilang seketika. Menatap makanan yang baru saja diambil Biru pun rasanya sangat enggan. Semua telah jelas atau semakin tak terdefinisi. 

 

Biru masih menatapku. Aku tau dia sadar ada rona wajah yang berubah setelah kata-katanya. Bahkan jelas dia merasakan senyumku yang mendadak surut. Ku coba temukan kata per kata dalam otak ku, tapi aneh semuanya menghilang. Pun ribuan pertanyaan yang selama itu tersimpan rapi di otak ku. Tak ada yang bersisa, kosong. Ku tatap jauh ke luar restoran. Sore ini bahkan tak terlihat jingga, hanya awan abu-abu bercampur biru, sendu. 

 

Ceracau ku pun mulai terdengar lirih tanpa peduli Biru mendengarnya atau tidak, “enak kali ya, berdiri di atas gedung sana, terus duduk lama-lama. Cuma diam dan lihat langit..” Biru hanya tersenyum. Dia sangat hapal kebiasaan buruk ku saat seperti ini. Beberapa kali berusaha mengeluarkan joke garingnya, tapi percuma. Aku masih menceracau tak jelas. Aku ingin bicara banyak hal. Sangat banyak. Tapi..

 

“Kan kamu yang ajari aku untuk punya mimpi. Dan sekarang aku baru memulainya. Aku takut ini akan terlalu lama buat kamu.” 

 

Iya, aku yang ajari Biru untuk punya mimpi-mimpi itu. Dan akan sangat egois jika aku menghentikannya tepat saat dia baru memulainya. Tapi ini tak layak untuk sebuah pilihan. Usia. Lagi-lagi angka itu yang jadi sumber masalah. Bisa kah angka itu tetap bertahan di tempat sampai selesai mimpi-mimpi kami?Sungguh, saat itu rasanya ingin terbenam saja di dasar laut.

 

“Jangan tunggu aku, jangan terlalu berharap lebih pada ku.”

 

Air mata ku kemana hari ini. Semua hilang kemana? Bahkan setetes pun tak bisa ku keluarkan di depan Biru. Hanya ada rasa getir yang tertahan. Menggigit ujung bibir ku sendiri. Aku tau, sangat tau harapan-harapan ku hanya akan menjadi beban untuk Biru. Dan aku tak ingin bebannya bertambah, tidak sedikit pun. 

 

“Aku cuma mau jadi lilin, mau temani kamu untuk semua mimpi-mimpi itu” dan kalimat ini hanya tersekat diujung lidah ku. Ku tatap wajah di depan ku lagi. Dari mana ada logika untuk setiap rasa ini padanya. Ribuan pertanyaan mengapa tak pernah terjawab, aku tak pernah punya alasan. 

 

Biru mengambil es krim untuk kami berdua. Skup es krim stroberi untuk ku, dan coklat untuknya. Suasana biasa akan sangat mudah untuk menghabiskan sedikit es krim ini, tapi tidak sekarang. Ku sendok dengan malas memaksakan lelehan dingin itu memasuki mulut ku. 

 

“Jadi apa yang mau kamu tanya sama aku? Mungkin kesempatannya hanya hari ini. Aku nggak tau kapan bisa pulang lagi. “ tanya Biru, masih dengan kesabarannya. Entahlah, hari ini dia sangat sabar menghadapiku. 

 

“Nggak tau..” jawab ku acuh. Bukan acuh sebenarnya, tapi semua pertanyaan itu telah benar-benar lenyap. Hilang, menguap dan menyatu dengan udara. 

 

Satu-dua pengunjung berganti, tapi kami masih lekat dengan kursi kami. Pelayan restoran beberapa kali terlihat menatap kami. Meski tak menegur, mungkin itu isyarat untuk menyuruh kami pergi. Tapi aku enggan. Aku masih ingin bersama Biru. Meski kami hanya saling diam. 

 

Biru masih berusaha menghiburku. Meledek ku berkali-kali. Tapi akhirnya luluh juga. Dia tau aku tak pernah bisa lama seperti ini padanya. Apalagi dengan tatapan mata sipitnya yang berkali-kali menghujami ku. Sama sekali tak pernah bisa kusembunyikan semburat malu di pipi ku. Terakhir, jelas senyum kecil ku akan muncul pada gurauan berikutnya. 

 

Aneh. Semuanya aneh kan? Tak pernah bisa dijelaskan logika. Andai hari ini menjadi 100 jam sehari, mungkin aku punya sisa waktu lebih lama bersamanya. Satu hari ini adalah pengganti dua tahun. Terlalu singkat. Sangat singkat. Bahkan tak pernah tau akan ada waktu seperti ini lagi atau tidak. Tapi cukuplah senyum dengan sedikit lesung pipi itu leburkan rindu ku dua tahun ini. Cukup pula untuk kembali ku simpan dalam memori ku sampai entah kapan. I don’t wanna lose this feeling. Every moment with him is the sweetest one.

 

Ku hembuskan napas perlahan. Seperti apa pun ku genggam pasir itu di tangan, jika takdir berkata lain aku tak akan pernah bisa berbuat apa-apa. Mungkin usaha terakhir ku adalah memohon agak takdir berpihak pada ku. Tak ada cara lain. Karena aku telah bertekad tak akan lagi mengulangi kesalahan ku dua tahun lalu, hanya membiarkannya berlalu. Setidaknya aku ingin bertahan dengan sedikit usaha ini, berharap Tuhan mengizinkan kuasa untuk takdir itu.


Biru dan Hujan

Senja masih ditemani tetes-tetes air langit yang perlahan jatuh ke bumi, seolah gumpalan kelabu tak lagi mampu menahan beratnya. Bersenandung khas bertemu tanah dan dedaunan. Dalam cuaca seperti ini jalanan cenderung sepi, hanya satu dua orang yang kebetulan melintas. Termasuk sepasang suami istri paruh baya yang lambat laun menyita perhatianku. Mereka berjalan sekitar satu meter di depan ku. Usia mereka sekitar lima puluh tahun, berjalan bersama dengan sebuah payung yang menaungi. Romantis. Keduanya berjalan perlahan menghindari genangan air pada permukaan aspal.
Aku tersenyum simpul. Tak bergerak, masih pada tempatku. Mengamati pasangan tersebut hingga menghilang diujung jalan. Ah, semoga waktu mengizinkannya. Melewati saat hujan bersama hingga rambut kami memutih.
Entah mengapa hujan selalu indah dan menginspirasi banyak orang, menghipnotis dengan berbagai pesona filosofi subjektif individu terhadapnya. Aku sendiri telah lama terhipnotis pada satu filosofi yang menggambarkan hujan: kerinduan.
Ada rindu yang selalu membekas nyata tiap kali ku nikmati hujan. Rasanya seperti mesin waktu yang menyerap raga ku berjalan-jalan pada kenangan-kenangan masa lalu. Kenangan ku bersama Biru. Padahal kami tak pernah punya momen dengan hujan. Hanya sedikit momen yang kami punya. Itu pun aku bersyukur masih memiliki sedikit momen bersamanya. Seperti langit yang menumpahkan tetes hujan, rindu itu jatuh pada tiap bagian bumi. Dan seperti tetes-tetes air itu, aku menemukan bayang mu dimana-mana.
Aku kembali berjalan melintasi jalan beraspal ini. Payung lipat tak cukup efektif melindungi tubuhku dari hujan. Ku tengadahkan pandangan ke langit, semburat jingga muncul mengintip di balik gumpalan abu-abu. Indah sekali.
Pikiran ku kembali melayang pada sosok yang terpisah ratusan kilometer di seberang sana. Jarak itu terasa semakin nyata saat-saat aku merindukan Biru. Seperti ini juga kah dirimu disana? Kadang bukan hanya rindu, bolehlah ada sedikit curiga terselip padanya. Curiga dan cemburu pada hatinya, kalau-kalau telah berpaling. Kurutuki diri saat melankolis itu kembali menguasai hati. Sangat ingin untuk mempercayai Biru sepenuhnya, tapi kejadian dua tahun lalu itu cukup menjadi luka teramat dalam. Mengingatnya saja membuat dada ku terasa terhimpit, sesak.
Ku hembuskan napas perlahan, berusaha mendapatkan oksigen yang baru untuk memenuhi rongga dada ku. Biarlah oksigen ini membersihkan sisa memori ku. Ah, saat kamu pulang ke kota ini nanti, aku ingin menikmati hujan kala senja seperti saat ini bersama mu. Atau membiarkan hujan menahanmu lebih lama di kota ini. Dan kita akan buat lebih banyak memori indah untuk menutup sakit ku dua tahun itu. Sedikit egois ya permintaan ku? Mungkin karena aku tak lagi rela kehilangan Biru. Tak lagi mau membiarkan kebodohan ku yang menyuruhnya pergi dan hanya membiarkan punggungnya menghilang tanpa kata. Karena Biru tetaplah Biru. Pelangi ku tak akan pernah sama tanpanya.
Rintik hujan mulai menipis saat aku mulai melangkahkan kaki ke stasiun Gambir. Mungkin langit tak mau aku terbawa melankolisme hujan lebih dalam. Tenang saja langit, aku baik-baik saja. Hujan tak akan lagi ku jadikan kisah melankolis yang menyedihkan, tetapi menjadi kisah yang akan mengukir senyum. Bukankah selalu ada pelangi setelah hujan? Sebuah lengkungan warna-warni yang akan kami sebut senyum bahagia.
Ping. Udh di rmh? Jgn lupa mkn yaa.. Sebuah short message masuk, dari Biru. Biarlah untuk saat ini hanya sms dan sedikit suaranya yang bisa menemani ku membungkam rindu. Aku hanya punya keyakinan, waktu akan berpihak pada rindu ku untuk menghadirkan senyum Biru di depan ku saatnya nanti. Dan untuk itu aku bersedia untuk menunggunya.