Rabu, 11 April 2012

Biru dan Hujan

Senja masih ditemani tetes-tetes air langit yang perlahan jatuh ke bumi, seolah gumpalan kelabu tak lagi mampu menahan beratnya. Bersenandung khas bertemu tanah dan dedaunan. Dalam cuaca seperti ini jalanan cenderung sepi, hanya satu dua orang yang kebetulan melintas. Termasuk sepasang suami istri paruh baya yang lambat laun menyita perhatianku. Mereka berjalan sekitar satu meter di depan ku. Usia mereka sekitar lima puluh tahun, berjalan bersama dengan sebuah payung yang menaungi. Romantis. Keduanya berjalan perlahan menghindari genangan air pada permukaan aspal.
Aku tersenyum simpul. Tak bergerak, masih pada tempatku. Mengamati pasangan tersebut hingga menghilang diujung jalan. Ah, semoga waktu mengizinkannya. Melewati saat hujan bersama hingga rambut kami memutih.
Entah mengapa hujan selalu indah dan menginspirasi banyak orang, menghipnotis dengan berbagai pesona filosofi subjektif individu terhadapnya. Aku sendiri telah lama terhipnotis pada satu filosofi yang menggambarkan hujan: kerinduan.
Ada rindu yang selalu membekas nyata tiap kali ku nikmati hujan. Rasanya seperti mesin waktu yang menyerap raga ku berjalan-jalan pada kenangan-kenangan masa lalu. Kenangan ku bersama Biru. Padahal kami tak pernah punya momen dengan hujan. Hanya sedikit momen yang kami punya. Itu pun aku bersyukur masih memiliki sedikit momen bersamanya. Seperti langit yang menumpahkan tetes hujan, rindu itu jatuh pada tiap bagian bumi. Dan seperti tetes-tetes air itu, aku menemukan bayang mu dimana-mana.
Aku kembali berjalan melintasi jalan beraspal ini. Payung lipat tak cukup efektif melindungi tubuhku dari hujan. Ku tengadahkan pandangan ke langit, semburat jingga muncul mengintip di balik gumpalan abu-abu. Indah sekali.
Pikiran ku kembali melayang pada sosok yang terpisah ratusan kilometer di seberang sana. Jarak itu terasa semakin nyata saat-saat aku merindukan Biru. Seperti ini juga kah dirimu disana? Kadang bukan hanya rindu, bolehlah ada sedikit curiga terselip padanya. Curiga dan cemburu pada hatinya, kalau-kalau telah berpaling. Kurutuki diri saat melankolis itu kembali menguasai hati. Sangat ingin untuk mempercayai Biru sepenuhnya, tapi kejadian dua tahun lalu itu cukup menjadi luka teramat dalam. Mengingatnya saja membuat dada ku terasa terhimpit, sesak.
Ku hembuskan napas perlahan, berusaha mendapatkan oksigen yang baru untuk memenuhi rongga dada ku. Biarlah oksigen ini membersihkan sisa memori ku. Ah, saat kamu pulang ke kota ini nanti, aku ingin menikmati hujan kala senja seperti saat ini bersama mu. Atau membiarkan hujan menahanmu lebih lama di kota ini. Dan kita akan buat lebih banyak memori indah untuk menutup sakit ku dua tahun itu. Sedikit egois ya permintaan ku? Mungkin karena aku tak lagi rela kehilangan Biru. Tak lagi mau membiarkan kebodohan ku yang menyuruhnya pergi dan hanya membiarkan punggungnya menghilang tanpa kata. Karena Biru tetaplah Biru. Pelangi ku tak akan pernah sama tanpanya.
Rintik hujan mulai menipis saat aku mulai melangkahkan kaki ke stasiun Gambir. Mungkin langit tak mau aku terbawa melankolisme hujan lebih dalam. Tenang saja langit, aku baik-baik saja. Hujan tak akan lagi ku jadikan kisah melankolis yang menyedihkan, tetapi menjadi kisah yang akan mengukir senyum. Bukankah selalu ada pelangi setelah hujan? Sebuah lengkungan warna-warni yang akan kami sebut senyum bahagia.
Ping. Udh di rmh? Jgn lupa mkn yaa.. Sebuah short message masuk, dari Biru. Biarlah untuk saat ini hanya sms dan sedikit suaranya yang bisa menemani ku membungkam rindu. Aku hanya punya keyakinan, waktu akan berpihak pada rindu ku untuk menghadirkan senyum Biru di depan ku saatnya nanti. Dan untuk itu aku bersedia untuk menunggunya. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar