Senja
masih ditemani tetes-tetes air langit yang perlahan jatuh ke bumi,
seolah gumpalan kelabu tak lagi mampu menahan beratnya. Bersenandung
khas bertemu tanah dan dedaunan. Dalam cuaca seperti ini jalanan
cenderung sepi, hanya satu dua orang yang kebetulan melintas. Termasuk
sepasang suami istri paruh baya yang lambat laun menyita perhatianku.
Mereka berjalan sekitar satu meter di depan ku. Usia mereka sekitar lima
puluh tahun, berjalan bersama dengan sebuah payung yang menaungi.
Romantis. Keduanya berjalan perlahan menghindari genangan air pada
permukaan aspal.
Aku tersenyum simpul. Tak bergerak, masih pada tempatku. Mengamati pasangan tersebut hingga menghilang diujung jalan. Ah, semoga waktu mengizinkannya. Melewati saat hujan bersama hingga rambut kami memutih.
Entah
mengapa hujan selalu indah dan menginspirasi banyak orang, menghipnotis
dengan berbagai pesona filosofi subjektif individu terhadapnya. Aku
sendiri telah lama terhipnotis pada satu filosofi yang menggambarkan
hujan: kerinduan.
Ada
rindu yang selalu membekas nyata tiap kali ku nikmati hujan. Rasanya
seperti mesin waktu yang menyerap raga ku berjalan-jalan pada
kenangan-kenangan masa lalu. Kenangan ku bersama Biru. Padahal kami tak
pernah punya momen dengan hujan. Hanya sedikit momen yang kami punya.
Itu pun aku bersyukur masih memiliki sedikit momen bersamanya. Seperti
langit yang menumpahkan tetes hujan, rindu itu jatuh pada tiap bagian
bumi. Dan seperti tetes-tetes air itu, aku menemukan bayang mu
dimana-mana.
Aku
kembali berjalan melintasi jalan beraspal ini. Payung lipat tak cukup
efektif melindungi tubuhku dari hujan. Ku tengadahkan pandangan ke
langit, semburat jingga muncul mengintip di balik gumpalan abu-abu.
Indah sekali.
Pikiran
ku kembali melayang pada sosok yang terpisah ratusan kilometer di
seberang sana. Jarak itu terasa semakin nyata saat-saat aku merindukan
Biru. Seperti ini juga kah dirimu disana? Kadang bukan
hanya rindu, bolehlah ada sedikit curiga terselip padanya. Curiga dan
cemburu pada hatinya, kalau-kalau telah berpaling. Kurutuki diri saat
melankolis itu kembali menguasai hati. Sangat ingin untuk mempercayai
Biru sepenuhnya, tapi kejadian dua tahun lalu itu cukup menjadi luka
teramat dalam. Mengingatnya saja membuat dada ku terasa terhimpit,
sesak.
Ku
hembuskan napas perlahan, berusaha mendapatkan oksigen yang baru untuk
memenuhi rongga dada ku. Biarlah oksigen ini membersihkan sisa memori
ku. Ah, saat kamu pulang ke kota ini nanti, aku ingin
menikmati hujan kala senja seperti saat ini bersama mu. Atau membiarkan
hujan menahanmu lebih lama di kota ini. Dan kita akan buat lebih
banyak memori indah untuk menutup sakit ku dua tahun itu. Sedikit egois
ya permintaan ku? Mungkin karena aku tak lagi rela kehilangan Biru. Tak
lagi mau membiarkan kebodohan ku yang menyuruhnya pergi dan hanya
membiarkan punggungnya menghilang tanpa kata. Karena Biru tetaplah Biru.
Pelangi ku tak akan pernah sama tanpanya.
Rintik
hujan mulai menipis saat aku mulai melangkahkan kaki ke stasiun Gambir.
Mungkin langit tak mau aku terbawa melankolisme hujan lebih dalam.
Tenang saja langit, aku baik-baik saja. Hujan tak akan lagi ku jadikan
kisah melankolis yang menyedihkan, tetapi menjadi kisah yang akan
mengukir senyum. Bukankah selalu ada pelangi setelah hujan? Sebuah
lengkungan warna-warni yang akan kami sebut senyum bahagia.
Ping. Udh di rmh? Jgn lupa mkn yaa.. Sebuah short message
masuk, dari Biru. Biarlah untuk saat ini hanya sms dan sedikit suaranya
yang bisa menemani ku membungkam rindu. Aku hanya punya keyakinan,
waktu akan berpihak pada rindu ku untuk menghadirkan senyum Biru di
depan ku saatnya nanti. Dan untuk itu aku bersedia untuk menunggunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar