Rabu, 11 April 2012

Kota itu, Kamu dan Mimpimu



Awan mendung masih menggelayut di langit, meski tetes hujan baru saja berhenti jatuh. Lesung pipi kecil itu masih terlihat jelas menghadapku. Ransel besar dipunggungnya sebentar lagi siap menjauh. 

Aku masih diam memandangnya. Ada bendungan kecil yang terpaksa harus ku buat sebelum benar-benar tumpah. Ah, hujan..Kenapa harus berhenti? Padahal ku harap hujan mampu menahannya sedikit lebih lama disini. 

Biru menundukkan tubuh tingginya hingga sejajar dengan ku. Mengusap kepala ku lembut. Dia masih saja memperlakukanku seperti anak kecil. 

“Jarak? Dimana pun kita berada, toh kita masih berpijak di bumi yang sama, dan menatap langit yang sama..” ucap Biru hati-hati, seolah tau apa yang ada dalam pikiran ku.

Aku menggeleng pelan, bukan karena tak mengerti dengan ucapannya. Hanya saja otak ku memberi perlawanan “Mungkinkah sama warna langit yang kita lihat di tempat berbeda?” 

Biru masih tersenyum menatapku. Kali ini aku hapal itu adalah senyum gemasnya melihat tingkah kekanakanku.

“Setelah ini, kamu buka lagi catatan mimpi mu..”

Kota itu, Kamu, dan mimpimu. Disini, aku dan mimpi ku. Tak pernah ada yang salah dengan mimpi-mimpi kita. Seperti Biru yang selalu mendukung mimpi-mimpi melangit ku di sini, harusnya aku pun begitu. Tapi kadang ku pikir, mengapa harus kota itu? Terpisah jarak ratusan kilometer dan lautan luas. Mengapa tak pilih kota ini? Padahal pasti masih banyak pintu mimpi yang bisa diketuk di kota ini. 

“Seperti aku yang kembali pada mimpi-mimpi ku di sana, kamu juga harus kembali pada mimpi mu. Mereka menunggu untuk kamu dekati lagi..”

Butiran bening itu tak lagi bisa terbendung. Bukan karena sedih, ini pembenaran dari semua kata-katanya. Jarak dan Waktu. Tak ada kuasa untuk kami mengatur semuanya. Kami hanya bidak catur kehidupan. Ada yang lebih berhak mengatur setiap langkah kami. 

Disodorkannya sebungkus kecil tissue pada ku, dan masih dengan senyum menatap ku. Ah, aku tau mata sipitnya mulai menangkap perubahan warna di wajahku. Bibirnya mulai menyunggingkan seulas senyum usil, “Udang rebus, hihi..” 

Plak!

“Aduuhh….”

Satu pukulan telak kuhadiahkan pada lengannya. Sudah menjadi kebiasaannya untuk meledek ku dengan sebutan “Udang rebus” tiap kali ditangkapnya warna wajah ku yang memerah. Tapi setelah itu, aku tak pernah tahan untuk tidak tersenyum. 
 
Awan abu-abu mulai bergeser memberi ruang pada sang surya untuk menjalankan tugasnya. Sinar mentari jatuh berkilauan pada air yang menggenang di permukaan aspal, sisa-sisa hujan. Indah sekali. Seindah mimpi dan masa depan yang telah menunggu kami. Iya kan Biru?

1 komentar: