Awan
mendung masih menggelayut di langit, meski tetes hujan baru saja
berhenti jatuh. Lesung pipi kecil itu masih terlihat jelas menghadapku.
Ransel besar dipunggungnya sebentar lagi siap menjauh.
Aku
masih diam memandangnya. Ada bendungan kecil yang terpaksa harus ku
buat sebelum benar-benar tumpah. Ah, hujan..Kenapa harus berhenti?
Padahal ku harap hujan mampu menahannya sedikit lebih lama disini.
Biru
menundukkan tubuh tingginya hingga sejajar dengan ku. Mengusap kepala
ku lembut. Dia masih saja memperlakukanku seperti anak kecil.
“Jarak?
Dimana pun kita berada, toh kita masih berpijak di bumi yang sama, dan
menatap langit yang sama..” ucap Biru hati-hati, seolah tau apa yang ada
dalam pikiran ku.
Aku
menggeleng pelan, bukan karena tak mengerti dengan ucapannya. Hanya
saja otak ku memberi perlawanan “Mungkinkah sama warna langit yang kita
lihat di tempat berbeda?”
Biru masih tersenyum menatapku. Kali ini aku hapal itu adalah senyum gemasnya melihat tingkah kekanakanku.
“Setelah ini, kamu buka lagi catatan mimpi mu..”
Kota
itu, Kamu, dan mimpimu. Disini, aku dan mimpi ku. Tak pernah ada yang
salah dengan mimpi-mimpi kita. Seperti Biru yang selalu mendukung
mimpi-mimpi melangit ku di sini, harusnya aku pun begitu. Tapi kadang ku
pikir, mengapa harus kota itu? Terpisah jarak ratusan kilometer dan
lautan luas. Mengapa tak pilih kota ini? Padahal pasti masih banyak
pintu mimpi yang bisa diketuk di kota ini.
“Seperti
aku yang kembali pada mimpi-mimpi ku di sana, kamu juga harus kembali
pada mimpi mu. Mereka menunggu untuk kamu dekati lagi..”
Butiran
bening itu tak lagi bisa terbendung. Bukan karena sedih, ini pembenaran
dari semua kata-katanya. Jarak dan Waktu. Tak ada kuasa untuk kami
mengatur semuanya. Kami hanya bidak catur kehidupan. Ada yang lebih
berhak mengatur setiap langkah kami.
Disodorkannya
sebungkus kecil tissue pada ku, dan masih dengan senyum menatap ku. Ah,
aku tau mata sipitnya mulai menangkap perubahan warna di wajahku.
Bibirnya mulai menyunggingkan seulas senyum usil, “Udang rebus, hihi..”
Plak!
“Aduuhh….”
Satu
pukulan telak kuhadiahkan pada lengannya. Sudah menjadi kebiasaannya
untuk meledek ku dengan sebutan “Udang rebus” tiap kali ditangkapnya
warna wajah ku yang memerah. Tapi setelah itu, aku tak pernah tahan
untuk tidak tersenyum.
Awan
abu-abu mulai bergeser memberi ruang pada sang surya untuk menjalankan
tugasnya. Sinar mentari jatuh berkilauan pada air yang menggenang di
permukaan aspal, sisa-sisa hujan. Indah sekali. Seindah mimpi dan masa
depan yang telah menunggu kami. Iya kan Biru?
Biru....I Like Biru *BigHug* :*
BalasHapus