Rabu, 11 April 2012

Biru

Mendadak sunyi. Hanya alunan MLTR favorit Biru yang terdengar. Restoran ini cukup sepi, hanya beberapa pengunjung yang sibuk dengan makanannya di meja masing-masing. Ada rasa yang mendadak meluncur jatuh ke dasar perutku. Memenuhi rongganya hingga rasa lapar mendadak hilang seketika. Menatap makanan yang baru saja diambil Biru pun rasanya sangat enggan. Semua telah jelas atau semakin tak terdefinisi. 

 

Biru masih menatapku. Aku tau dia sadar ada rona wajah yang berubah setelah kata-katanya. Bahkan jelas dia merasakan senyumku yang mendadak surut. Ku coba temukan kata per kata dalam otak ku, tapi aneh semuanya menghilang. Pun ribuan pertanyaan yang selama itu tersimpan rapi di otak ku. Tak ada yang bersisa, kosong. Ku tatap jauh ke luar restoran. Sore ini bahkan tak terlihat jingga, hanya awan abu-abu bercampur biru, sendu. 

 

Ceracau ku pun mulai terdengar lirih tanpa peduli Biru mendengarnya atau tidak, “enak kali ya, berdiri di atas gedung sana, terus duduk lama-lama. Cuma diam dan lihat langit..” Biru hanya tersenyum. Dia sangat hapal kebiasaan buruk ku saat seperti ini. Beberapa kali berusaha mengeluarkan joke garingnya, tapi percuma. Aku masih menceracau tak jelas. Aku ingin bicara banyak hal. Sangat banyak. Tapi..

 

“Kan kamu yang ajari aku untuk punya mimpi. Dan sekarang aku baru memulainya. Aku takut ini akan terlalu lama buat kamu.” 

 

Iya, aku yang ajari Biru untuk punya mimpi-mimpi itu. Dan akan sangat egois jika aku menghentikannya tepat saat dia baru memulainya. Tapi ini tak layak untuk sebuah pilihan. Usia. Lagi-lagi angka itu yang jadi sumber masalah. Bisa kah angka itu tetap bertahan di tempat sampai selesai mimpi-mimpi kami?Sungguh, saat itu rasanya ingin terbenam saja di dasar laut.

 

“Jangan tunggu aku, jangan terlalu berharap lebih pada ku.”

 

Air mata ku kemana hari ini. Semua hilang kemana? Bahkan setetes pun tak bisa ku keluarkan di depan Biru. Hanya ada rasa getir yang tertahan. Menggigit ujung bibir ku sendiri. Aku tau, sangat tau harapan-harapan ku hanya akan menjadi beban untuk Biru. Dan aku tak ingin bebannya bertambah, tidak sedikit pun. 

 

“Aku cuma mau jadi lilin, mau temani kamu untuk semua mimpi-mimpi itu” dan kalimat ini hanya tersekat diujung lidah ku. Ku tatap wajah di depan ku lagi. Dari mana ada logika untuk setiap rasa ini padanya. Ribuan pertanyaan mengapa tak pernah terjawab, aku tak pernah punya alasan. 

 

Biru mengambil es krim untuk kami berdua. Skup es krim stroberi untuk ku, dan coklat untuknya. Suasana biasa akan sangat mudah untuk menghabiskan sedikit es krim ini, tapi tidak sekarang. Ku sendok dengan malas memaksakan lelehan dingin itu memasuki mulut ku. 

 

“Jadi apa yang mau kamu tanya sama aku? Mungkin kesempatannya hanya hari ini. Aku nggak tau kapan bisa pulang lagi. “ tanya Biru, masih dengan kesabarannya. Entahlah, hari ini dia sangat sabar menghadapiku. 

 

“Nggak tau..” jawab ku acuh. Bukan acuh sebenarnya, tapi semua pertanyaan itu telah benar-benar lenyap. Hilang, menguap dan menyatu dengan udara. 

 

Satu-dua pengunjung berganti, tapi kami masih lekat dengan kursi kami. Pelayan restoran beberapa kali terlihat menatap kami. Meski tak menegur, mungkin itu isyarat untuk menyuruh kami pergi. Tapi aku enggan. Aku masih ingin bersama Biru. Meski kami hanya saling diam. 

 

Biru masih berusaha menghiburku. Meledek ku berkali-kali. Tapi akhirnya luluh juga. Dia tau aku tak pernah bisa lama seperti ini padanya. Apalagi dengan tatapan mata sipitnya yang berkali-kali menghujami ku. Sama sekali tak pernah bisa kusembunyikan semburat malu di pipi ku. Terakhir, jelas senyum kecil ku akan muncul pada gurauan berikutnya. 

 

Aneh. Semuanya aneh kan? Tak pernah bisa dijelaskan logika. Andai hari ini menjadi 100 jam sehari, mungkin aku punya sisa waktu lebih lama bersamanya. Satu hari ini adalah pengganti dua tahun. Terlalu singkat. Sangat singkat. Bahkan tak pernah tau akan ada waktu seperti ini lagi atau tidak. Tapi cukuplah senyum dengan sedikit lesung pipi itu leburkan rindu ku dua tahun ini. Cukup pula untuk kembali ku simpan dalam memori ku sampai entah kapan. I don’t wanna lose this feeling. Every moment with him is the sweetest one.

 

Ku hembuskan napas perlahan. Seperti apa pun ku genggam pasir itu di tangan, jika takdir berkata lain aku tak akan pernah bisa berbuat apa-apa. Mungkin usaha terakhir ku adalah memohon agak takdir berpihak pada ku. Tak ada cara lain. Karena aku telah bertekad tak akan lagi mengulangi kesalahan ku dua tahun lalu, hanya membiarkannya berlalu. Setidaknya aku ingin bertahan dengan sedikit usaha ini, berharap Tuhan mengizinkan kuasa untuk takdir itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar