Biru
Mendadak
sunyi. Hanya alunan MLTR favorit Biru yang terdengar. Restoran ini
cukup sepi, hanya beberapa pengunjung yang sibuk dengan makanannya di
meja masing-masing. Ada rasa yang mendadak meluncur jatuh ke dasar
perutku. Memenuhi rongganya hingga rasa lapar mendadak hilang seketika.
Menatap makanan yang baru saja diambil Biru pun rasanya sangat enggan.
Semua telah jelas atau semakin tak terdefinisi.
Biru
masih menatapku. Aku tau dia sadar ada rona wajah yang berubah setelah
kata-katanya. Bahkan jelas dia merasakan senyumku yang mendadak surut.
Ku coba temukan kata per kata dalam otak ku, tapi aneh semuanya
menghilang. Pun ribuan pertanyaan yang selama itu tersimpan rapi di otak
ku. Tak ada yang bersisa, kosong. Ku tatap jauh ke luar restoran. Sore
ini bahkan tak terlihat jingga, hanya awan abu-abu bercampur biru,
sendu.
Ceracau
ku pun mulai terdengar lirih tanpa peduli Biru mendengarnya atau tidak,
“enak kali ya, berdiri di atas gedung sana, terus duduk lama-lama. Cuma
diam dan lihat langit..” Biru hanya tersenyum. Dia sangat hapal
kebiasaan buruk ku saat seperti ini. Beberapa kali berusaha mengeluarkan
joke garingnya, tapi percuma. Aku masih menceracau tak jelas. Aku ingin bicara banyak hal. Sangat banyak. Tapi..
“Kan kamu yang ajari aku untuk punya mimpi. Dan sekarang aku baru memulainya. Aku takut ini akan terlalu lama buat kamu.”
Iya,
aku yang ajari Biru untuk punya mimpi-mimpi itu. Dan akan sangat egois
jika aku menghentikannya tepat saat dia baru memulainya. Tapi ini tak
layak untuk sebuah pilihan. Usia. Lagi-lagi angka itu yang jadi sumber
masalah. Bisa kah angka itu tetap bertahan di tempat sampai selesai
mimpi-mimpi kami?Sungguh, saat itu rasanya ingin terbenam saja di dasar
laut.
“Jangan tunggu aku, jangan terlalu berharap lebih pada ku.”
Air
mata ku kemana hari ini. Semua hilang kemana? Bahkan setetes pun tak
bisa ku keluarkan di depan Biru. Hanya ada rasa getir yang tertahan.
Menggigit ujung bibir ku sendiri. Aku tau, sangat tau harapan-harapan ku
hanya akan menjadi beban untuk Biru. Dan aku tak ingin bebannya
bertambah, tidak sedikit pun.
“Aku
cuma mau jadi lilin, mau temani kamu untuk semua mimpi-mimpi itu” dan
kalimat ini hanya tersekat diujung lidah ku. Ku tatap wajah di depan ku
lagi. Dari mana ada logika untuk setiap rasa ini padanya. Ribuan
pertanyaan mengapa tak pernah terjawab, aku tak pernah punya alasan.
Biru
mengambil es krim untuk kami berdua. Skup es krim stroberi untuk ku,
dan coklat untuknya. Suasana biasa akan sangat mudah untuk menghabiskan
sedikit es krim ini, tapi tidak sekarang. Ku sendok dengan malas
memaksakan lelehan dingin itu memasuki mulut ku.
“Jadi
apa yang mau kamu tanya sama aku? Mungkin kesempatannya hanya hari ini.
Aku nggak tau kapan bisa pulang lagi. “ tanya Biru, masih dengan
kesabarannya. Entahlah, hari ini dia sangat sabar menghadapiku.
“Nggak
tau..” jawab ku acuh. Bukan acuh sebenarnya, tapi semua pertanyaan itu
telah benar-benar lenyap. Hilang, menguap dan menyatu dengan udara.
Satu-dua
pengunjung berganti, tapi kami masih lekat dengan kursi kami. Pelayan
restoran beberapa kali terlihat menatap kami. Meski tak menegur, mungkin
itu isyarat untuk menyuruh kami pergi. Tapi aku enggan. Aku masih ingin
bersama Biru. Meski kami hanya saling diam.
Biru
masih berusaha menghiburku. Meledek ku berkali-kali. Tapi akhirnya
luluh juga. Dia tau aku tak pernah bisa lama seperti ini padanya.
Apalagi dengan tatapan mata sipitnya yang berkali-kali menghujami ku.
Sama sekali tak pernah bisa kusembunyikan semburat malu di pipi ku.
Terakhir, jelas senyum kecil ku akan muncul pada gurauan berikutnya.
Aneh.
Semuanya aneh kan? Tak pernah bisa dijelaskan logika. Andai hari ini
menjadi 100 jam sehari, mungkin aku punya sisa waktu lebih lama
bersamanya. Satu hari ini adalah pengganti dua tahun. Terlalu singkat.
Sangat singkat. Bahkan tak pernah tau akan ada waktu seperti ini lagi
atau tidak. Tapi cukuplah senyum dengan sedikit lesung pipi itu leburkan
rindu ku dua tahun ini. Cukup pula untuk kembali ku simpan dalam memori
ku sampai entah kapan. I don’t wanna lose this feeling. Every moment with him is the sweetest one.
Ku
hembuskan napas perlahan. Seperti apa pun ku genggam pasir itu di
tangan, jika takdir berkata lain aku tak akan pernah bisa berbuat
apa-apa. Mungkin usaha terakhir ku adalah memohon agak takdir berpihak
pada ku. Tak ada cara lain. Karena aku telah bertekad tak akan lagi
mengulangi kesalahan ku dua tahun lalu, hanya membiarkannya berlalu.
Setidaknya aku ingin bertahan dengan sedikit usaha ini, berharap Tuhan
mengizinkan kuasa untuk takdir itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar